Harmonyfm—Serang, Budayawan dan Sastrawan Yogyakarta, Paksi Raras Alit, menyoroti fenomena baru yang sangat memengaruhi pola konsumsi masyarakat pasca-pandemi: digitalisasi telah memutus ikatan bahasa baku dan mengubah jurnalisme menjadi narasi kolektif di media sosial (medsos).
Perubahan ini, sebutnya, membawa dampak positif signifikan, terutama bagi sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta pengangkatan nilai-nilai budaya lokal.
Dalam season talkshow di Media Gathering OJK Jabodebek dan Banten, Paksi Raras Alit menjelaskan bahwa bahasa di medsos kini telah melahirkan “prokem-prokem baru” atau stilistika yang adaptif dan santai, seperti sapaan “Besti,” “Mamen,” atau “Guys.”
“Pergeseran ini menunjukkan bahwa komunikasi sehari-hari tidak lagi terikat pada kaidah formal, dan inilah yang menjadi kekuatan narasi baru,” terangnya.
Menurut Paksi, dinamika media telah berubah dari komunikasi satu arah menjadi interaktif. Feedback dari masyarakat kini menjadi komponen penting dalam pembentukan narasi media.
“Anda semuanya dengan perubahan gaya bahasa hari ini sudah menciptakan sebuah narasi baru bagaimana masyarakat menggerakkan roda ekonominya dengan storytelling yang Anda bikin di medsos dan sebagainya,” terangnya, dikutip pada Kamis (27/11/25).
Fenomena paling krusial yang ia amati adalah perubahan pola konsumsi. Konsumen kini tidak hanya mencari produk, tetapi juga makna, keasyikan, dan keberlanjutan di balik produk yang mereka beli.
Tiga pilar narasi baru konsumsi di Medsos, seperti Isu Ekologi dan Keberlanjutan dimana Kesadaran tentang carbon footprint dan pelestarian alam (go local) kini didorong oleh konten-konten media.
Isu-isu tentang boikot produk tertentu, yang didorong oleh “pengembara berita” di medsos, secara langsung memengaruhi keputusan pembelian masyarakat.
Viralitas lokal, masyarakat secara kolektif mempromosikan UMKM lokal. Contoh nyatanya adalah antrean panjang di Kopi Klotok atau viralnya hidden gem kopi di sudut-sudut kampung Yogyakarta.
“Isu politik tentang tidak membeli produk yang berafiliasi dengan Israel atau Yahudi Barat. Anda semua yang pengembara kota. Pasti itu berdampak pada pola konsumsi,” ujar Paksi.
Dampak nyata dari perubahan gaya bahasa dan pola konsumsi ini paling terlihat di Yogyakarta seperri UMKM lokal melesat, sektor kuliner dan kopi mengalami kemajuan pesat dan ramai dikunjungi, memicu tumbuhnya ekonomi mikro dan pemberdayaan anak-anak muda lokal.
“Media sosial telah berhasil meningkatkan nilai tradisi lokal,” kata Paksi. Kebangkitan kembali penggunaan Batik dan Kebaya di ruang publik dipicu oleh artis dan komunitas yang memviralkannya.
Konten-konten viral tentang Malioboro atau lokasi-lokasi tersembunyi telah membentuk pola konsumsi baru, menarik wisatawan dari seluruh Indonesia dan dunia.
Paksi Raras Alit menyimpulkan bahwa media dan bahasa kini telah menjadi “senjata ampuh” yang mengubah cara masyarakat mengonsumsi, menciptakan konsumen yang peduli terhadap lokalitas secara filosofis dan estetis.
Fenomena ini juga terjadi secara nasional, seperti viralnya lagu-lagu dari Indonesia Timur yang mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di wilayah tersebut.
“Tinggal kita kembalikan ke diri kita masing-masing dan ke kebijakan kita masing-masing. Mau ke arah sini enggak? Anda semua sudah menciptakan konsumen yang peduli dengan lokalitas,” tutupnya.(ssk)







