Harmonyfm-Serang, Klakson sebagai salah satu komponen penting pada kendaraan bermotor tidak hanya berfungsi untuk mengeluarkan bunyi, tetapi juga menjadi sarana komunikasi antar pengguna jalan. Lebih dari itu, klakson berperan dalam menunjang keselamatan karena membantu mengurangi risiko kecelakaan di jalan raya.
Sayangnya, tidak sedikit pengendara yang masih salah kaprah. Klakson sering digunakan untuk melampiaskan emosi marah saat jalanan macet, kesal ketika ada kendaraan yang bergerak lambat, atau sekadar ingin “mengusir” pengendara di depan. Padahal, penggunaan klakson yang berlebihan justru bisa menimbulkan polusi suara, mengganggu konsentrasi, hingga memicu konflik di jalan raya.
Instruktur Safety Riding Honda Banten, Nicko Triandana, menegaskan bahwa klakson sebaiknya digunakan sebagai tanda keselamatan, bukan untuk melampiaskan emosi.
“Penggunaan klakson harus disesuaikan dengan situasi. Tekan secukupnya, bunyi singkat, dan hanya pada titik yang tepat, seperti saat melewati tikungan buta atau ketika mendahului kendaraan lain. Klakson bukan untuk marah-marah, melainkan tanda keselamatan di jalan,” ujar Nicko Triandana.
Bukan hanya etika, klakson juga diatur secara resmi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2012 tentang Kendaraan. Pada Pasal 39, disebutkan bahwa klakson harus bisa mengeluarkan bunyi tanpa mengganggu konsentrasi pengemudi. Sementara Pasal 69 menetapkan standar kebisingan klakson, yakni minimal 83 desibel dan maksimal 118 desibel.
Tidak main-main, bahkan dalam uji laik jalan sepeda motor, suara klakson termasuk salah satu aspek yang diuji. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran klakson dalam mendukung keselamatan berkendara.
Menggunakan klakson dengan benar sebenarnya sederhana, tekan secukupnya, bunyikan seperlunya, dan selalu utamakan etika. Satu kali bunyi pendek seringkali sudah cukup untuk memberi isyarat kepada pengguna jalan lain.(Ssk)